TUGAS FILSAFAT ILMU DAN LOGIKA
DI SUSUN OLEH :
YANTHI
NIM 2014-52-160
FAKULTAS ILMU
KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ESA
UNGGUL 2014
MATEMATIKA
Matemaktika sebagai Bahasa
Matematika adalah bahasa yang
melambangkan serangkaian makna dari pernyataan yang ingin kita sampaikan.
Lambang-lambang matematika bersifat “artifisial” yang baru mempunyai arti
setelah sebuah makna diberikan kepadanya.
Dalam hal ini dapat kita katakan
bahwa matematika adalah bahasa yang berusaha untuk menghilangkan sifat
kubur,majemuk,dan emosional dari bahasa verbal. Lambang-lambang dari matematika
dibikin secara artifisal dan individual yang merupakan perjanjian yang berlaku
khusus untuk masalah yang sedang kita kaji. Umpamanya bila kita sedang
mempelajari kecepatan jalan kaki seorang anak maka obyek “kecepatan jalan kaki
seorang anak” tersebut dapat kita lambangkan dengan x. Dalam hal ini maka x
hanya mempunyai arti yakni “kecepatan jalan kaki seorang anak”. Disamping itu
lambang x tidak bersifat majemuk sebab x hanya melambangkan “kecepatan jalan
kaki seorang anak” dan tidak mempunyai pengertian yang lain. Demikian juga jika
kita hubungkan “kecepatan jalan kaki seorang anak” dengan obyek lain umpamanya
“jarak yang ditempuh seorang anak” (yang kita lambangkan dengan y) maka kita
dapat melambangkan hubungan tersebut sebagai z=y/x dimana z melambangkan “waktu
berjalan kaki seorang anak”. Pernyataan z=y/x kiranya jelas tidak mempunyai
konotasi emosional dan hanya mengemukakan informasi mengenai hubungan antara
x,y,dan z. Secara ini maka pernyataan matematika mempunyai sifat yang
jelas,spesifik dan informatif dengan tidak menimbulkan konotasi yang bersifat
emosional.
Sifat Kuantitatif dari
Matematika
Matematika mengembangkan bahasa
numerik yang memungikinkan kita untuk melakukan pengukuran secara kuantitatif.
Dengan bahasa verbal bila kita membandingkan dua obyek yang berlainan umpamanya
gajah dan semut maka kita hanya bisa megatakan gajah lebih besar dari semut.
Bahasa verbal hanya mampu
mengemukakan pernyataan yang bersifat kualitatif. Demikian juga maka penjelasan
dan ramalan yang diberikan oleh ilmu dalam bahasa verbal semuanya bersifat
kualitatif. Kita bisa mengetahui bahwa logam kalau dipanaskan akan memanjang.
Namun pengertian kita hanya sampai disitu, kita tidak bisa mengatakan dengan
tepat berapa besar pertambahan panjangnya. Hal ini menyebabkan penjelasan dan
ramalan yang diberikan oleh bahasa verbal tidak bersifat eksak,menyebabkan daya
prediktif dan kontrol ilmu kurang cermat dan tepat.
Untuk mengatasi masalah ini matemtika
mengembangkan konsep pengukuran. Lewat pengukuran, maka kita dapat mengetahui
dengan tepat berapa panjang sebatang logam dan berapa pertambahan panjangnya
kalau logam itu dipanaskan. Dengan mengetahui hal ini maka penyataan ilmiah
yang berupa pernyataan kualitatif seperti “sebatang logam kalau dipanaskan akan
memanjang” dapat diganti dengan pernyataan matematika yang lebih eksak
umpamanya :
P₁ = P₀ (1 + 𝑛1)
Dimana P₁ merupakan panjang logam pada temperatur ₁ , P₀
merupakan panjang logam tersebut pada temperatur nol dan 𝑛
merupakan koefisien
pemuai logam tersebut.
Sifat
kuantitatif dari matematika ini
meningkatkan daya prediktif dan kontrol dari ilmu. Matematika memungkinkan ilmu
mengalami perkembangan dari tahap kualitatif ke kuantitatif. Perkembangan ini
merupakan suatu hal yang imperatif bila kita menghendaki daya prediksi dan
kontrol yang lebih tepat dan cemat. Beberapa disiplin keilmuan, terutama
ilmu-ilmu sosial agak mengalami kesukaran dalam perkembangan yang bersumber
pada problema teknis dan dalam pengukuran. Pada dasarnya matematika diperlukan
oleh semua displin keilmuan untuk meningkatkan daya prediksi dan kontrol dari
ilmu tersebut.
Matematika Sarana
Berpikir Deduktif
kita semua kiranya telah mengenal bahwa jumlah sudut dalam sebuah
segitiga adalah derajat. Seperti diketahui berpikir deduktif adalah proses pengambilan kesimpulan yang
didasarkan kepada premis-premis yang kebenarannya telah ditentukan. Untuk
menghitung jumlah sudut dalam
segitiga tersebut kita
mendasarkan kepada premis bahwa kalau terdapat dua garis sejajar maka
sudut-sudut yang dibentuk kedua garis sejajar tersebut dengan garis ketiga
adalah sama. Premis yang kedua adalah bahwa jumlah sudut yang dibentuk oleh
sebuah garis lurus adalah 180 derajat.
Kedua premis
itu kemudian kita terapkan dalam berpikir deduktif untuk menghitung jumlah
sudut-sudut dalam sebuah segitiga. Dari beberapa premis yang kita ketahui
kebenarannya dapat diketemukan pengetahuan-pengetahuan lainnya yang memperkaya
perbendaharaan ilmiah kita.
Perkembangan Matematika
Ditinjau dari perkembangan maka ilmu dapat dibagi dalam tiga tahap yakni
tahap sistematika, kompraratif, dan kuantitatif. Pada tahap sistematika maka
ilmu mulai menggolong-golongkan obyek empiris kedalam kategori-kategori
tertentu. Dalam tahap kompraratif kita mulai melakukan perbandingan antara
obyek yang satu dengan obyek yang lain,kategori yang satu ini dengan kategori
yang lain, dan seterusnya. pada tahap kuantitatif di mana kita mencari hubungan
sebab akibat tidak lagi berdasarkan perbandingan melainkan berdasarkan
pengukuran yang aksak dari obyek yang sedang kita selidiki. Bahasa verbal
berfungsi dengan baik dalam kedua tahap yang pertama namun dalam tahap
yang ketiga maka pengetahuan membutuhkan
matematika. Lambang-lambang matematika bukan saja jelas namun juga eksak dengan
mengandung informasi tentang obyek tertentu dalam dimensi-dimensi pengukuran.
Matematika
menurut Wittgenstein adalah metode berpikir logis. Berdasarkan perkembangannya
maka masalah yang dihadapi logika makin
lama makin rumit dan membutuhkan struktur analisis yang lebih sempurna. Dalam
perspektif inilah maka logika berkembang menjadi matematika, seperti
disimpulkan oleh Bertrand Russell matematika adalah masa kedewasaan logika,
sedangkan logika adalah masa kecil matematika.
Memang tidak
semua ahli filsafat setuju dengan pernyataan bahwa matematika adalah
pengetahuan yang bersifat deduktif. Immanuel Kant (1724-1804) berpendapat bahwa
matematika merupakan pengetahuan sintentik
a priori di mana eksistensi
matematika tergantung kepada dunia pengalaman kita. Namun pada dasarnya dewasa
ini berpendapat bahwa matematika merupakan pengetahuan yang bersifat rasional
yang kebenarannya tidak tergantung kepada pembuktian secara empiris.
Grffits dan Howson (1974) membagi
sejarah perkembangan matematika menjadi 4 tahap :
1. Matematika yang berkembang pada peradaban Mesir Kuno dan
daerah sekitarnya,
2. Matematika yang berkembang pada peradaban Yunani,
3. Matematika berkembang di timur sekitar tahun 1000 bangsa
Arab,India, dan Cina,
4. Matematika berkembang di zaman renaissance yang meletakan
dasar bagi kemajuan matematika modrn
selanjutnya.
Selain itu, Ada dua sistem ukur dalam matematika, yaitu
sistem Ilmu Ukur Euclid dan Ilmu Ukur Non-Euclid.
Beberapa Aliran dalam
Filsafat Matematika
Dalam bagian terdahulu Immanuel Kant
(1924-1804) yang berpendapat bahwa matematika merupakan pengetahuan yang
bersifat sintetik apriori di mana eksistensi matematika tergantung dari
pancaindra serta pendapat dari aliran yang disebut logistik yang berpendapat bahwa matematika merupakan cara berpikir
logis yang salah atau benarnya dapat ditentukan tanpa mempelajari dunia
empirisis. Filsafat Kant tentang matematika ini mendapat momentum baru dalam
aliran yang disebut intuisionis dengan
eksponen utamanya adalah seorang ahli matematika bernama Jan Brouwer (1881-1966)
yang menyatakan bahwa intuitif murni dari berhitung merupakan titik tolak tentang matematka
bilangan.
Disamping
dua aliran ini terdapat aliran ketiga yang dipelopori oleh David Hilbert
(1862-1943) dan terkenal dengan sebutan kaum formalis. Kaum formalis menekankan kepada aspek formal dari
matematika sebagai bahasa perlambang (sign-language)
dan mengusahakan konsistensi dalam penggunaan matematika sebagai bahasa
lambang.
Kaum
logistik mempergunakan sistem simbol yang diperkembangkan oleh kaum formalis
dalam kegiatan analisisnya. Kaum intuisionis memberi titik total dalam
mempelajari matematika dalam perspektif
kebudayaan suatu masyarakat tertentu yang memungkinkan diperkembangkannya
filsafat pendidikan matematika yang sesuai. Ketiga pendekatan dalam matematika
ini, lewat pemahamannya masing-masing, memperkukuh matematika sebagai sarana
kegiatan berpikir deduktif.
Matematika dan
Peradaban
Matematika dapat dikatakan hampir sama tuanya dengan peradaban manusia
itu sendiri. Sekitar 3500 tahun S.M. bangsa Mesir Kuno telah mempunyai simbol
yang melambangkan angka-angka. Matematika merupakan bahasa artifisial yang
dikembangkan untuk menjawab kekurangan bahasa verbal yang bersifat alamiah.
Matematika tidak dapat dilepaskan dari perkembangan peradaban manusia. Penduduk
kota yang pertama adalah makhluk yang berbicara (talking animal) dan penduduk kota kurun teknologi adalah makhluk yang berhitung (calculating animal) yang hidup dalam
jaringan angka-angka.
STATISTIKA
Konsep satatistika sering dikaitkan dengan distribusi variable yang
ditelaah dalam suatu populasi tertentu. Abraham Demoivre (1667-1754) mengembangkan
teori galat atau keliruan (theory of
error). Pada tahun 1757 Thomas Simpson menyimpulkan bahwa terdapat suatu
distribusi yang berlanjut (continuous
distribution) dari suatu variable dalam suatu frekuensi yang cukup banyak.
Pierre Simon de Laplace (1749-1827) mengembangkan konsep Demoivre dan Simpson
ini lebih lanjut dan menemukan distribusi normal; sebuah konsep yang mungkin
paling umum dan paling banyak digunakan dalam analisis statistika di samping
teori peluang. Distribusi lain, yang tidak berupa kurva normal, kemudian
ditemukan Francis Galton (1822-1911), dan Karl Pearson (1857-1936)
Statistika
yang relatif sangat mudah dibandingkan dengan matematika, berkembang dengan
sangat cepat terutama dalam dasawarsa lima puluh tahun belakangna ini.
Penelitian ilmiah, baik yang berupa survai maupun eksperimen, dilakukan dengan
lebih cermat dan teliti mempergunakan teknik-teknik statistika yang
diperkembangkan sesuai dengan kebutuhan.
Statistik dan Cara
Berpikir Induktif
Ilmu secara sederhana dapat didefinisikan sebagai pengetahuan yang telah
teruji kebenarannya. Semua prnyataan ilmiah adalah bersifat faktual, dimaana konsekuensinya
dapat diuji baik dengan jalan mempergunakan pancaindra, maupun dengan mempergunakan
alat-alat yang membantu pancaindra tersebut.pengujian secara empiris merupakan
salah satu mata rantai dalam metode ilmiah yang membedakan ilmu dari
pengetahuan-pengetahuan lainnya.
Logika
deduktif berpaling kepada matematika sebagai sarana penalaran penarikan
kesimpulan, sedangkan logika induktif
berpaling pada statistika. Statistika merupakan pegetahuan untuk
melakukan penarikan kesimpulan induktif secara lebih seksama.
Statistika
mampu memberikan secara kuantitatif tingkat ketelitian dari kesimpulan yang
ditarik. Statistik juga memberikan kemampuan kepada kita untuk mengetahui
apakah suatu hubungan kausalita antara dua faktor atau lebih bersifat kebetulan
atau memang benar-benar terkait dalam suatu hubungan yang bersifat empiris.
Statistik berfungsi meningkatkan
ketelitian pengamatan kita dalam menarik kesimpulan dengan jalan menghindarkan
hubungan semu yang bersifat kebetulan.
Secara
hakiki statistika mempunyai kedudukan yang sama dlam penarikan kesimpulan
induktif seperti matematika dalam penarikan kesimpulan secara deduktif. Demikan
juga penarikan kesimpulan deduktif dan induktif keduanya mempunyai kedudukan
yang sama pentingnya dalam penelaahan keilmuan.
Karakter Berpikir
Induktif
Statistika merupakan pengetahuan yang memungkinkan kita untuk menarik
kesimpulan secara induktif berdasarkan peluang tersebut. Dasar dari teori
statistika adalah teori peluang. Teori peluang merupakan cabang dari
matematika, sedangkan statistika sendiri merupakan disiplin tersendiri. Menurut
bidang pengkajiannya statistika dapat kita bedakan sebagai statistika teoretis
dan statiska terapan. Statistika teoretis merupakan pengetahuan yang mengkaji
dasar-dasar teori statistika,dimulai
dari teori penarikan contoh : distribusi, penaksiran, dan peluang.
Sedangkan statistika terapan merupakan penggunaan statistika teoretis yang
disesuaikan dngan bidang tempat penerapannya.
Penguasaan
statistika mutlak diperlukan untuk dapat berpikir ilmiah dengan sah. Berpikir logis
secara deduktif sering sekali dikacaukan dengan berpikir logis secara induktif.
Kekacauan logika inilah yang menyebabkan kurang berkembangnya ilmu di negara
kita. Untuk mempercepat perkembangan kegiatan keilmuan di negara kita, maka
penguasaan berpikir induktif dengan statistika sebagai alat berpikirnya harus
mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh.
Statistika
harus mendapat tempat yang sejajar dengan matematika agar keseimbangan berpikir
deduktif dan induktif yang merupakan ciri dari berpikir ilmiah dapat dilakukan
dengan baik. Statistika merupakan sarana berpikir yang diperlukan untuk
memproses pengetahuan secara ilmiah. Sebagai bagian dari perangkat metode
ilmiah maka statistika membantu kita untuk melakukan generalisasi dan
menyimpulkan karakteristik suatu kejadian secara lebih pasti dan bukan terjadi
secara kebetulan.